Minggu, 18 Desember 2011

Pendahuluan


PENDAHULUAN
Latar Belakang

Budi daya tanaman padi akan tetap dilakukan petani, selama penduduk bumi masih ada yang mengkonsumsi nasi. Permasalahannya, penduduk bumi akan terus bertambah sementara lahan untuk persawahan padi semakin sempit (Martodireso S dan Suryanto W.A, 2011). Beras sebagai bahan makanan pokok bangsa Indonesia, produksinya sampai saat ini belum memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah masih harus mengimpor dari luar negeri. Sejalan dengan pesatnya pembangunan diberbagai bidang setiap tahun sekitar 50.000 ha lahan produktif beralih fungsi ke sektor non pertanian, seperti untuk pemukiman, industri dan transportasi/jalan (Sugeng H.R, 2011).
Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan beras sebagai sumber pangan nasional makin meningkat. Terjadinya alih fungsi lahan sawah dapat mengganggu produksi pangan, apabila tidak ada solusi dalam mengatasi masalah ini dikhawatirkan akan terjadi krisis pangan. Dilihat dari angka konsumsi nasional pada tahun 1984 mencapai 25.835 juta ton dan pada tahun 1998 sudah mencapai 32,3 juta ton. Pada tahun 2010 konsumsi beras di proyeksikan mencapai 37,31 juta ton dan diproyeksikan akan terjadi defisit beras 6,32 juta ton (Prasetyo, 2008).
Pupuk adalah komoditas vital yang berkaitan erat dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan. Pupuk menyumbang 20% dari keberhasilan peningkatan produksi pertanian. Untuk meningkatkan produktivitas lahan yang semakin menyempit, intervensi pupuk tampaknya merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari. Akan tetapi intervensi pupuk dengan penerapan teknologi revolusi hijau sejak tahun 1960 memunculkan berbagai dampak negatif, antara lain adanya kecenderungan meningkatnya pasokan energi dari luar yang tinggi, terutama untuk pupuk dan pestisida (Suwahyono U., 2011). Ternyata penggunaan pupuk buatan ini bisa menggangu kehidupan dan keseimbangan tanah, meningkatkan dekomposisi bahan organik yang menyebabkan degradasi struktur tanah, kerentanan yang tinggi terhadap kekeringan dan keefektifan yang lebih rendah dalam menghasilkan panenan (Reijntjes C. dkk.,2010).
Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan bahan dasar lainnya masih cukup banyak pupuk yang diperlukan. Untuk mengurangi perbedaan yang besar antara kebutuhan dan pasokan, tambahan pupuk organik dan hayati sangat diperlukan (Sutanto R, 2006). Penggunaan pupuk organik saja, tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan ketahanan pangan. Oleh karena itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik/pupuk hayati dan pupuk anorganik dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan. Hanya dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan. Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah ( Simanungkalit RDM., 2006).
Salah satu jenis pupuk organik adalah kompos. Kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan atau limbah organik. Secara ilmiah, kompos diartikan sebagai parytikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat di koagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah (Djuarniani dkk, 2005). Kompos mengandung unsur hara makro dan mikro yang lengkap, tetapi jumlahnya sedikit. Keuntungan lainnya adalah dapat memperbaiki struktur tanah dan mengikat bahan organik serta memperbaiki kehidupan mikrooraganisme dalam tanah (Indriani, 2002).
 Sedangkan pupuk hayati adalah pupuk yang dibuat mengandung mikroorganisme tertentu dalam jumlah yang banyak dan mampu menyediakan hara yang cukup untuk membantu pertumbuhan tanaman. Selain harganya murah juga tidak menimbulkan pengaruh yang negatif baik terhadap kesehatan tanah maupun lingkungan. Salah satu jenis pupuk hayati adalah Mikorisa atau VAM yang bersimbiose dengan perakaran tanaman dan membantu dal;am penyerapan fosfat (Sutanto R, 2006). Sebagai contoh, aplikasi pupuk hayati peluruh fosfat ( Mycorrhiza) pada budi daya padi di Vietnam dapat meningkatkan produksi 15,7% pada kawasan terbatas dan pada area budi daya yang luas dapat meningkatkan produksi 10.7-12,5% (Suwahyono U., 2001).
SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100% (Mutakin J, 2011). Metodologi ini menekankan pada pentingnya mengeluarkan dan memanfaatkan potensi genetik tanaman padi dan memadukan dengan penciptaan lingkungan yang baik bagi tanaman. Hal terpenting dalam penciptaan lingkungan adalah bagaimana merangsang aktivitas mikroorganisme dalam membantu penyediaan unsur hara bagi tanaman. SRI ini menekankan pada upaya memaksimalkan jumlah anakan dan pertumbuhan akar dengan mengelola suplai makanan, air dan oksigen yang cukup pada tanaman padi (Suswadi,2011).
 Bagaimanapun juga teknik budidaya padi dengan sistem SRI memiliki kelebihan dan kekurangan begitu juga dengan teknik konvensional yang selama ini dilakukan oleh para petani. Kedua teknik budidaya ini tentunya juga akan memberikan respon yang berbeda terhadap aplikasi pupuk organik dan pupuk hayati serta pupuk anorganik terhadap hasil padi.   Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang  Pengaruh Aplikasi Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pengurangan Dosis Pupuk Anorganik Terhadap Hasil Padi ( Oryza sativa L. ) yang Ditanam Dengan Teknik Konvensional dan SRI”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar